Nyata atau Rekayasa
COVID-19
DR. Dr Zulkhair Ali, SpPD,KGH ( RSMH Palembang)
Sejak wabah Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) menerpa Indonesia, beragam pendapat dan pandangan ramai bermunculan.
Pandangan yang lagi hits saat ini banyak yang menduga virus tersebut hanya rekayasa, bahkan menjadi lahan bisnis baru yang menguntungkan bagi kalangan dokter, tenaga kesehatan (nakes) dan pihak rumah sakit.
Namun tetap saja, virus yang pertama terindikasi dari Tiongkok ini tetap tak peduli dengan semua pandangan tersebut. Justru, semakin banyak menelan korban jiwa tanpa pandang bulu.
Terkait apakah COVID-19 nyata atau rekayasa? Kalau dilihat dari sejarah virusnya memang ada, yakni SARS Cov-2 dan dapat dideteksi di laboratorium, bisa dengan PCR maupun Rapid Test.
Jika dilihat dari sejarahnya, Coronavirus bisa menginveksi manusia sejak tahun 1965. Kemudian virus ini menghilang dan muncul lagi pada tahun 2003 yang dikenal dengan SARS, yang pertama kali diidentifikasi di Tiongkok, selanjutnya menyebar ke 26 negara dan menginfeksi sekitar 10.000 orang dan menyebabkan kematian 1000 orang.
Selanjutnya, pada tahun 2012 muncul dengan nama MERS-CoV, yang mewabah di kawasan Midle East (Timur Tengah) yang pertama kali teridentifikasi di Arab Saudi, kemudian menyebar ke 27 negara dengan total 2494 kasus, dengan korban meninggal sekitar 500 orang.
Terkait pertanyaan apakah virus ini alami atau rekayasa laboratorium? Bahkan ada yang mengatakan, virus ini adalah ujicoba senjata biologis yang dapat digunakan pada saat perang besar-berasan antar negara.
Pada Jurnal Nature Medicine, Profesor Imunologi dan Mikrobiologi, Kristian Andersen, dari Scripps Reseach Institute La Jolla, California, Amerika Serikat, menganalisis data urutan genom Virus SARS-CoV-2.
Dengan membandingkan data urutan genom jenis-jenis virus corona yang sudah diketahui, mereka dapat dengan tegas menentukan bahwa SARS-CoV-2 berasal dari proses alami. Jadi virus tersebut bukan dari rekayasa laboratorium.
Kemudian muncul pertanyaan, apakah COVID-19 ini berbahaya? Karena ada juga yang mengatakan, bahwa virus ini tidak berbahaya dan hanya propaganda media, sehingga membuat orang takut, cemas dan menyebabkan kekacauan.
SARS-CoV-2 ini sangat berbahaya, karena dalam waktu tiga bulan saja virus itu sudah menyerang 216 negara. Bayangkan, kalau SARS dan MERS tadi hanya 27 negara, dengan angka kesakitan dan kematian yang cukup tinggi.
Kalau dilihat data per 26 Januari 2021 lalu, terang Zulkhair, kasus COVID-19 di dunia sudah mencapai 100 Juta jiwa lebih, dengan jumlah kematian mencapai 2,15 juta Sedangkan di Indonesia sendiri, kasusnya mencapai 1.012.350 kasus dengan jumlah kematian sekitar 28.468 jiwa
Pada Januari 2020, kematian yang disebabkan oleh COVID-19 ini masih kecil atau masih kalah dari kematian yang disebabkan oleh malaria, malnutrision, dan penyakit lain. Namun, masuk bulan April 2020, kematian yang disebabkan oleh COVID-19 justru paling tinggi.
Ada pertanyaan apakah COVID-19 ini menjadi bisnis yang menguntungkan bagi dokter dan tenaga kesehatan? Ada satu fakta, bahwa sebagian besar rumah sakit, seperti pada RSMH Palembang selama masa pandemi COVID-19 ini kunjungan pada poliklinik rawat jalan menurun hingga hanya 20 persen, rawat inap hanya 30 persen. Dengan demikian pemasukan rumah sakit pasti menurun dan otomatis remunerasi menurun. Ini juga terjadi di seluruh rumah sakit di Indonesia.
Kalau melihat secara pribadi, kebanyakan dokter menutup praktik-praktik mereka, terutama dokter yang berusia diatas 60 tahun yang berisiko terhadap penularan penyakit.
Ada pertanyaan lain, bahwa tarif yang dikenakan pada pasien COVID-19 yang ditetapkan pemerintah itu cukup besar. Memang betul, tapi coba lihat biaya perawatan pasien COVID-19 juga mahal. Bayangkan, APD yang standar untuk merawat pasien COVID-19 itu antara Rp500.00 hingga Rp1 juta dan APD itu pemakaiannya bisa 14 hingga 16 set. Belum lagi fasilitas ruangan yang harus memakai ventilator, tenakan negatif, yang membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
Ada fakta, bahwa di awal-awal pandemi virus ini, banyak rumah sakit yang menolak merawat pasien COVID-19, mengapa? Karena dengan adanya pasien COVID-19 maka pengunjung yang lain akan berkurang. Sehingga dengan alasan bisnis, kerap kali pasien COVID-16 ditolak. Oleh sebab itu, selama ini tidak pernah juru bicara pemerintah untuk COVID-19 menyebut nama rumah sakit.
Akhir-akhir ini muncul fakta, baik di media sosial dan media lain bahwa rumah saki dituding jadi lahan bisnis. Misalnya, ada berita yang memuat video terkait rumah sakit menjadikan COVID-19 sebagai lahan bisnis.
Namun dalam video tersebut adalah protes salah satu keluarga pasien terhadap pelayanan rumah sakit, sebab diduga menyogok keluarga pasien yang sudah meninggal agar mau ditetapkan sebagai pasien COVID-19.
Namun dugaan tersebut tidak terbukti. Jangan mudah percaya dan cek setiap informasi yang kalian dapatkan, pastikan itu berasal dari sumber yang terpercaya, sehingga bisa dipertangunggjawabkan kebenarnya.
Ulasan dari seorang ekonom menyebutkan bahwa dalam kondisi sekarang ini sektor yang menjadi pemenangan adalah sektor kesehatan, farmasi, ada juga sektor yang menjual disinfektan, masker. Namun bagi rumah sakit sendiri, kondisi ini sangat merugikan, karena butuh masker, disinfektan, APD yang harganya tinggi dan jauh lebih tinggi dari harga normal.
Karena dampak pandemi COVID-19 ini sangat besar ke sektor kesehatan, akan ada kecenderungan banyak negara akan berinvestasi dalam jumlah besar pada sektor tersebut.
Lalu adakah yang bermain bisnis COVID-19 ini? Ya mungkin saja, karena biasanya ada saja kesempatan dalam kesempitan, mengail di air keruh. Karena itu bila ada dugaan, segera usut tuntas. Jangan sampai mengganggu petugas kesehatan yang sudah bekerja dengan ihklas.
( Doc Hukormas RSMH)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar