TULI MENDADAK Oleh : Dr. Ahmad Hifni,
Sp.THT.K-L ( RSMH Palembang )
DEFINISI
Tuli
mendadak didefinisikan sebagai penurunan pendengaran sensorineural lebih dari
30dB atau lebih, pada tiga
frekuensi berturut-turut dengan onset
kurang dari tiga hari. Gangguan yang terjadi
dikaitkan dengan gangguan fungsi koklea, saraf auditorik atau aspek lain pada
proses auditorik. Tuli mendadak
merupakan salah satu kasus kegawatdaruratan di bidang THT-KL yang memerlukan
tatalaksana segera agar tidak menimbulkan ketulian permanen.
KEKERAPAN
Kasus
tuli mendadak dapat terjadi ada semua rentang usia, puncaknya pada usia 30-60
tahun.Sangat jarang terjadi pada anak-anak dimana hanya ditemukan 1,2% kasus. Tidak
ada perbedaan insiden pada laki-laki dan perempuan. Umumnya unilateral, hanya
kurang dari 2% kasus terjadi bilateral. Beberapa penelitian
menyatakan sebesar 32%-65% kasus tuli mendadak dapat terjadi perbaikan secara
spontan. Abla
dkk melaporkan di RS
Dr Mohammad Hoesin Palembang terdapat 52
kasus dari tahun 2015 sampai dengan tahun 2016 dimana
pasien dengan faktor prediktor seperti onset pasien mendapatkan terapi kurang
dari 7 hari, gangguan pendengaran yang bersifat unilateral dan derajat gangguan
pendengaran yang ringan hanya 20% yang tidak mengalami perbaikan setelah
dilakukan terapi, selain itu onset dari pasien mendapatkan terapi yang kurang
dari 7 hari memiliki hasil perbaikan 3,8 kali lebih baik dari pasien-pasien
yang mendapatkan terapi pada onset yang lebih dari 7 hari.
ETIOLOGI
Tuli
mendadak (sudden deafness) merupakan
tuli yang terjadi secara tiba-tiba, bersifat sensorineural, penyebabnya tidak
diketahui secara langsung. Etiologi dan faktor predisposisi dari tuli mendadak
dapat dibagi menjadi kategori yang luas yaitu infeksi, autoimun, ruptur membran
labirin/ trauma, vaskular, neurologik, dan neoplastik.
PATOGENESIS
Penyebab tuli mendadak masih belum diketahui secara jelas. Sebagian besar
kasus penyebabnya tidak diketahui. Sekitar 7 sampai 45% pasien dapat
diidentifikasi faktor penyebabnya, dan terapi spesifik sesuai penyebabnya harus
diberikan.Faktor
predisposisi pada kasus-kasus tuli mendadak saat ini masih banyak
diperdebatkan. Penggunaan alkohol yang berlebihan, kondisi emosional penderita,
kelelahan, penyakit metabolik (diabetes melitus, hiperlipidemia), penyakit
kardiovaskuler, stres, umur dan kehamilan sering dianggap sebagai faktor predisposisi
terjadinya tuli mendadak.
DIAGNOSIS
Diagnosis tuli mendadak ditegakkan dengan
anamnesis, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang dengan menggunakan
audiometri dan tes penala. Pada anamnesis ditanyakan onset dan proses terjadinya ketulian
(berlangsung tiba-tiba, progresif cepat atau lambat, fluktuatif, atau stabil),derajat
ketulian, serta sifat ketulian (unilateral atau bilateral). Pasien umumnya mengeluhkan
hilangnya pendengaran pada satu sisi telinga.
Kejadian hilangnya pendengaran dapat bersifat tiba-tiba, berangsur-angsur
hilang secara stabil atau terjadi secara cepat dan progresif. Kehilangan
pendengaran bisa bersifat fluktuatif, tetapi sebagian besar bersifat stabil. Tuli mendadak ini sering disertai dengan
keluhan sensasi penuh pada telinga dengan atau tanpa tinitus.
Pada pemeriksaan fisik, dilakukan pemeriksaan
menyeluruh telinga luar dan telinga tengah. Pemeriksaan dengan menggunakan otoskopi ataupun teleendoskopi pada pasien tuli sensorineural hampir selalu
mendapatkan hasil normal. Pada diagnosa
tuli mendadak, harus dibedakan antara gangguan pendengaran sensorineural dengan
gangguan pendengaran konduksi.
Untuk menegakkan diagnosis tuli mendadak dilakukan juga pemeriksaan penunjang
berupa pemeriksaaan fungsi pendengaran serta pemeriksaan laboratorium untuk
mencari faktor resiko. Pemeriksaan fungsi pendengaran dapat dilakukan dengan tes
penala, tes audiometri, tes SISI, tes Tone decay, audiometri tutur (speech audiometry), audiometri
impedans, Brainstem Evoked-Response Audiometry
(BERA) dan Oto Acoustic Emission
(OAE). Pemeriksaan audiometri merupakan pemeriksaan wajib untuk menegakkan
diagnosis tuli mendadak. Tes audiometri dapat membedakan tuli konduktif dan
tuli sensorineural serta menentukan batas pendengaran pada frekuensi yang
spesifik.
PENATALAKSANAAN
Tatalaksana utama pada kasustuli mendadak
berdasarkan faktor penyebabnya apabila diketahui. Namun hampir sebagian kasus tuli mendadak
bersifat idiopatik, dan terapi empiris dapat diberikan. Terapi empiris pada
kasus tuli mendadak meliputi pemberian obat steroid secara sistemik atau
topikal, vasodilator,
antivirus, diuretika, oksigen hiperbarik, observasi dan operasi.
Kortikosteroid merupakan agen antiinflamasi
utama pada tatalaksana tuli mendadak idiopatik. Kortikosteroid bekerja dengan mengurangi inflamasi dan edema di
telinga dalam.Kortikosteroid dapat diberikan secara
sistemik maupun topikal melalui intratimpani, pemberian kortikosteroid sistemik
dapat berupa pemberian secara oral maupun intravena. Penggunaan kortikosteroid
sistemik dapat sebagai terapi awal, sedangkan pemberian kortikosteroid topikal
melalui intratimpani saja dapat sebagai terapi awal, kombinasi dengan terapi
lain atau sebagai terapi penyelamatan (salvage
therapy) yang merupakanterapi
yang dilakukan setelah terjadi kegagalan dari terapi awal.
Sesuai
panduan American Academy of
Otolaryngology Head and Neck Surgery(AAO-HNSF), untuk hasil pengobatan yang maksimal, direkomendasikan pemberian
prednison oral dosis tunggal 1mg/kgBB/ hari, dengan dosis 60 mg per hari
maksimal selama
10-14 hari.
Dosis prednison 60 mg setara dengan 48 mg metilprednisolon dan 10 mg
deksametason.
Injeksi kortikosteroid intratimpani pada kasus tuli mendadak sudah
sering digunakan. Tujuan penggunaan kortikosteroid intratimpani
yaitu memberikan obat dengan konsentrasi tinggi langsung ke organ target dengan
mengurangi efek samping
sistemik. Vasodilator juga telah banyak digunakan dalam terapi
tuli mendadak.Obat-obat vasodilator dapat menembus sawar darah otak dan
meningkatkan sirkusi intrakranial.
Secara tidak langsung, dapat meningkatkan aliran darah ke koklea, sehingga dapat mengatasi hipoksia. Pemberian antivirus dalam terapi tuli mendadak masih
menjadi kontroversi. Obat antivirus diduga dapat membantu pemulihan fungsi
pendengaran tetapi beberapa penelitian masih belum menemukan adanya manfaat
penambahan terapi antivirus.
EVALUASI
Evaluasi audiometri penting untuk menilai efektifitas pengobatan pada
tuli mendadak. Evaluasi dilakukan dengan membandingkan hasil audiometri awal
dan sesudah dilakukan terapi. Tidak ada pedoman waktu evaluasi pada kasus tuli
mendadak. Kriteria yang digunakan untuk evaluasi fungsi pendengaran adalah kriteria
Siegel. Perbaikan pendengaran
pada tuli mendadak berdasarkan kriteria Siegel yaitu pulih
total (ambang dengar kurang dari 25 dB), pulih sebagian (ambang dengar 25-45
dB, atau terjadi kenaikan ambang dengar lebih dari 25 dB), pulih minimal
(kenaikan ambang dengar lebih dari 15 dB, atau terdapat ambang dengar kurang
dari 45 dB) dan tidak ada pemulihan (perbaikan ambang dengar kurang dari 15 dB,
atau ambang dengar lebih buruk dari 75 dB).
PROGNOSIS
Banyak faktor yang mempengaruhi prognosis
tuli mendadak diantaranya usia, waktu mulainya pengobatan, gambaran audiogram,
derajat gangguan pendengaran, faktor komorbid (hipertensi, diabetes) serta ada
tidaknya gejala vestibular dan tinitus. Perbaikan spontan tanpa pengobatan pada
kasus tuli mendadak berkisar 32 % sampai 65%, dan umumnya terjadi dalam 2
minggu pertama setelah onset penurunan pendengaran.
(Promkes RSMH)