Rabu, 11 Maret 2020

HARI GINJAL SEDUNIA 12 MARET 2020


Pencegahan dan Deteksi Dini
Penyakit Ginjal
Narasumber: DR. Dr. Zulkhair Ali, SpPD, KGH, Finasim

Hari ini, Kamis 12 Maret 2020, seperti tahun sebelumnya, kembali kita peringati hari ginjal sedunia  (world kidney day) dengan tema Kidney Health for Everyone, Everywhere – from Prevention to Detection and Equitable Access to Care. Mengamati tema ini betapa kita dituntut untuk memberikan pelayanan ginjal kepada siapa saja mulai dari fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) yaitu Puskesmas dan klinik pratama sampai ke fasilitas kesehatan tingkat lanjut (FKTL) yaitu rumah sakit tipe C, B, dan A serta rumah sakit khusus. Bentuk pelayanan paripurna yang diharapkan mulai dari pencegahan, deteksi dini sampai pengobatan yang memadai dan rehabilitasi.


Sesuai dengan fasilitas dan keberadaan SDM, FKTP diharapkan dapat melakukan upaya pencegahan yang bersifat suportif agar orang tidak mengidap penyakit ginjal. Olah raga bersama rutin sekali seminggu, diikuti penyuluhan dan bimbingan untuk hidup sehat dengan mengosumsi makanan sehat dan seimbang, menjaga berat badan ideal, minum yang cukup, sanitasi lingkungan dan  higiene yang bersih serta tidak membiasakan diri untuk makan obat dan herbal sembarangan akan banyak mengurangi populasi sakit ginjal. FKTP juga dapat melakukan upaya deteksi dini  bersama-sama FKTL seperti melakukan pemeriksaan tekanan darah  dan laboratorium sederhana untuk mendeteksi adanya protein dan glukosa dalam urin. Bila dicurigai adanya gangguan ginjal dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan fungsi dan pencitraan ginjal.

Bagi orang yang sudah mengidap penyakit ginjal dengan berbagai tahapan gangguan fungsi ginjal, segenap insan kesehatan wajib memberikan akses pelayanan yang holistik. Bagi yang baru mengalami gangguan tahap awal harus diupayakan penundaan ke tahap yang lebih lanjut, sedangkan yang telah mengalami gangguan tahap lanjut harus diperbaiki kualitas hidupnya agar tetap dapat menjalani hidup yang normal. Bersyukur pemerintah dengan program jaminan kesehatan nasionalnya telah menanggung pembiayaan pengobatan penyakit ginjal secara menyeluruh, suatu hal yang tidak dilakukan asuransi swasta manapun. Saat ini pengobatan penyakit ginjal menduduki 3 besar pembiayaan yang dikeluarkan BPJS.

Sungguh besar, saat ini lebih kurang 100.000 orang saudara kita di Indonesia yang secara rutin   menjalani hemodialisis  (cuci darah) minimal 2 kali seminggu. Sungguh membutuhkan pembiayaan dan sumber daya yang sangat besar. Karena itu upaya pencegahan dan deteksi dini adalah cara yang paling efektif untuk menurunkan prevalensi penyakit ginjal tersebut. Dengan pencegahan kita dapat mengurangi angka kejadian penyakit, dan dengan deteksi dini kita dapat mengetahui penyakit sejak awal sehingga dapat menghentikan atau menunda perkembangan penyakit lebih lanjut.

Perhatian khusus hendaknya diberikan kepada pasien pengidap diabetes, hipertensi dan batu ginjal, karena saat ini  penyakit itulah yang merupakan tiga besar penyebab gagal ginjal tahap akhir sehingga memerlukan hemodialisis. Dengan mengendalikan gula darah pasien diabetes, mengontrol tekanan darah pada pasien hipertensi, dan segera mengenyahkan batu pada pasien batu ginjal dan saluran kemih, maka diharapkan jumlah pasien hemodialisis akan berkurang.

(Doc Humas RSMH)   
             

Rabu, 04 Maret 2020

TULI MENDADAK




TULI MENDADAK  
  Oleh : Dr. Ahmad Hifni, Sp.THT.K-L ( RSMH Palembang )


Artikel
DEFINISI
Tuli mendadak didefinisikan sebagai penurunan pendengaran sensorineural lebih dari 30dB  atau lebih, pada tiga frekuensi berturut-turut dengan onset kurang dari tiga hari. Gangguan yang terjadi dikaitkan dengan gangguan fungsi koklea, saraf auditorik atau aspek lain pada proses auditorik. Tuli mendadak merupakan salah satu kasus kegawatdaruratan di bidang THT-KL yang memerlukan tatalaksana segera agar tidak menimbulkan ketulian permanen.

KEKERAPAN
Kasus tuli mendadak dapat terjadi ada semua rentang usia, puncaknya pada usia 30-60 tahun.Sangat jarang terjadi pada anak-anak dimana hanya ditemukan 1,2% kasus. Tidak ada perbedaan insiden pada laki-laki dan perempuan. Umumnya unilateral, hanya kurang dari 2% kasus terjadi bilateral. Beberapa penelitian menyatakan sebesar 32%-65% kasus tuli mendadak dapat terjadi perbaikan secara spontan.  Abla dkk melaporkan di RS Dr Mohammad Hoesin Palembang terdapat 52 kasus dari tahun 2015 sampai dengan tahun 2016 dimana pasien dengan faktor prediktor seperti onset pasien mendapatkan terapi kurang dari 7 hari, gangguan pendengaran yang bersifat unilateral dan derajat gangguan pendengaran yang ringan hanya 20% yang tidak mengalami perbaikan setelah dilakukan terapi, selain itu onset dari pasien mendapatkan terapi yang kurang dari 7 hari memiliki hasil perbaikan 3,8 kali lebih baik dari pasien-pasien yang mendapatkan terapi pada onset yang lebih dari 7 hari.
ETIOLOGI
Tuli mendadak (sudden deafness) merupakan tuli yang terjadi secara tiba-tiba, bersifat sensorineural, penyebabnya tidak diketahui secara langsung. Etiologi dan faktor predisposisi dari tuli mendadak dapat dibagi menjadi kategori yang luas yaitu infeksi, autoimun, ruptur membran labirin/ trauma, vaskular, neurologik, dan neoplastik.
PATOGENESIS
Penyebab tuli mendadak masih belum diketahui secara jelas. Sebagian besar kasus penyebabnya tidak diketahui. Sekitar 7 sampai 45% pasien dapat diidentifikasi faktor penyebabnya, dan terapi spesifik sesuai penyebabnya harus diberikan.Faktor predisposisi pada kasus-kasus tuli mendadak saat ini masih banyak diperdebatkan. Penggunaan alkohol yang berlebihan, kondisi emosional penderita, kelelahan, penyakit metabolik (diabetes melitus, hiperlipidemia), penyakit kardiovaskuler, stres, umur dan kehamilan sering dianggap sebagai faktor predisposisi terjadinya tuli mendadak.

DIAGNOSIS     
Diagnosis tuli mendadak ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang dengan menggunakan audiometri dan tes penala. Pada anamnesis ditanyakan onset dan proses terjadinya ketulian (berlangsung tiba-tiba, progresif cepat atau lambat, fluktuatif, atau stabil),derajat ketulian, serta sifat ketulian (unilateral atau bilateral). Pasien umumnya mengeluhkan hilangnya pendengaran pada satu sisi telinga. Kejadian hilangnya pendengaran dapat bersifat tiba-tiba, berangsur-angsur hilang secara stabil atau terjadi secara cepat dan progresif. Kehilangan pendengaran bisa bersifat fluktuatif, tetapi sebagian besar bersifat stabil. Tuli mendadak ini sering disertai dengan keluhan sensasi penuh pada telinga dengan atau tanpa tinitus.
Pada pemeriksaan fisik, dilakukan pemeriksaan menyeluruh telinga luar dan telinga tengah. Pemeriksaan dengan menggunakan otoskopi ataupun teleendoskopi pada pasien tuli sensorineural hampir selalu mendapatkan hasil normal. Pada diagnosa tuli mendadak, harus dibedakan antara gangguan pendengaran sensorineural dengan gangguan pendengaran konduksi.
Untuk menegakkan diagnosis tuli mendadak dilakukan juga pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaaan fungsi pendengaran serta pemeriksaan laboratorium untuk mencari faktor resiko. Pemeriksaan fungsi pendengaran dapat dilakukan dengan tes penala, tes audiometri, tes SISI, tes Tone decay, audiometri tutur (speech audiometry), audiometri impedans, Brainstem Evoked-Response Audiometry (BERA) dan Oto Acoustic Emission (OAE). Pemeriksaan audiometri merupakan pemeriksaan wajib untuk menegakkan diagnosis tuli mendadak. Tes audiometri dapat membedakan tuli konduktif dan tuli sensorineural serta menentukan batas pendengaran pada frekuensi yang spesifik.

PENATALAKSANAAN
Tatalaksana utama pada kasustuli mendadak berdasarkan faktor penyebabnya apabila diketahui. Namun hampir sebagian kasus tuli mendadak bersifat idiopatik, dan terapi empiris dapat diberikan. Terapi empiris pada kasus tuli mendadak meliputi pemberian obat steroid secara sistemik atau topikal, vasodilator, antivirus, diuretika, oksigen hiperbarik, observasi dan operasi.
Kortikosteroid merupakan agen antiinflamasi utama pada tatalaksana tuli mendadak idiopatik. Kortikosteroid bekerja dengan mengurangi inflamasi dan edema di telinga dalam.Kortikosteroid dapat diberikan secara sistemik maupun topikal melalui intratimpani, pemberian kortikosteroid sistemik dapat berupa pemberian secara oral maupun intravena. Penggunaan kortikosteroid sistemik dapat sebagai terapi awal, sedangkan pemberian kortikosteroid topikal melalui intratimpani saja dapat sebagai terapi awal, kombinasi dengan terapi lain atau sebagai terapi penyelamatan (salvage therapy) yang merupakanterapi yang dilakukan setelah terjadi kegagalan dari terapi awal.
Sesuai panduan American Academy of Otolaryngology Head and Neck Surgery(AAO-HNSF), untuk hasil pengobatan yang maksimal, direkomendasikan pemberian prednison oral dosis tunggal 1mg/kgBB/ hari, dengan dosis 60 mg per hari maksimal selama 10-14 hari. Dosis prednison 60 mg setara dengan 48 mg metilprednisolon dan 10 mg deksametason.
Injeksi kortikosteroid intratimpani pada kasus tuli mendadak sudah sering digunakan. Tujuan penggunaan kortikosteroid intratimpani yaitu memberikan obat dengan konsentrasi tinggi langsung ke organ target dengan mengurangi efek samping sistemik. Vasodilator juga telah banyak digunakan dalam terapi tuli mendadak.Obat-obat vasodilator dapat menembus sawar darah otak dan meningkatkan sirkusi intrakranial. Secara tidak langsung, dapat meningkatkan aliran darah ke koklea, sehingga dapat mengatasi hipoksia. Pemberian antivirus dalam terapi tuli mendadak masih menjadi kontroversi. Obat antivirus diduga dapat membantu pemulihan fungsi pendengaran tetapi beberapa penelitian masih belum menemukan adanya manfaat penambahan terapi antivirus.

EVALUASI
            Evaluasi audiometri penting untuk menilai efektifitas pengobatan pada tuli mendadak. Evaluasi dilakukan dengan membandingkan hasil audiometri awal dan sesudah dilakukan terapi. Tidak ada pedoman waktu evaluasi pada kasus tuli mendadak. Kriteria yang digunakan untuk evaluasi fungsi pendengaran adalah kriteria Siegel. Perbaikan pendengaran pada tuli mendadak berdasarkan kriteria Siegel yaitu pulih total (ambang dengar kurang dari 25 dB), pulih sebagian (ambang dengar 25-45 dB, atau terjadi kenaikan ambang dengar lebih dari 25 dB), pulih minimal (kenaikan ambang dengar lebih dari 15 dB, atau terdapat ambang dengar kurang dari 45 dB) dan tidak ada pemulihan (perbaikan ambang dengar kurang dari 15 dB, atau ambang dengar lebih buruk dari 75 dB).

PROGNOSIS
            Banyak faktor yang mempengaruhi prognosis tuli mendadak diantaranya usia, waktu mulainya pengobatan, gambaran audiogram, derajat gangguan pendengaran, faktor komorbid (hipertensi, diabetes) serta ada tidaknya gejala vestibular dan tinitus. Perbaikan spontan tanpa pengobatan pada kasus tuli mendadak berkisar 32 % sampai 65%, dan umumnya terjadi dalam 2 minggu pertama setelah onset penurunan pendengaran. 

 (Promkes RSMH)
 

RAPID TEST COVID-19, SEBERAPA AKURAT?

  RAPID TEST COVID-19,    SEBERAPA AKURAT? (Dr. Eny Rahmawati, MSc, SpPK (K) Menghadapi wabah Covid-19 yang semakin merajalela ini, penegaka...