PADA MASA PANDEMI COVID-19
Dr. Bambang Eko.S, Sp.KJ, MARS
( Dirut RSMH Palembang)
Pendahuluan
Sejak beberapa bulan terakhir, hamper
seluruh wilayah di dunia mengalami kondisi penyebaran Virus Corona (Covid-19)
dengan jumlah kasus yang semakin meningkat, sehingga penyebaran virus ini
menjadi pandemi di seluruh dunia.
Penularan yang sangat mudah, belum
ditemukannya obat dan vaksin untuk
mengatasi Virus ini, menjadi tantangan bagi seluruh Negara di dunia. Kerugian
yang ditimbulkan, baik dari sisi korban jiwa, biaya pengobatan, hilangnya
pekerjaan, dan hilangnya produktifitas menjadikan pandmei ini sebagai penyebab
beban global yang sangat tinggi.
Di Indonesia, sampai saat ini penyebaran
virus masih terus berlangsung, ditandai dengan masih ditemukannya kasus baru setiap
hari. Berbagai upaya telah dilakukan, akan tetapi sampai saat ini masalah tersebut
belum bias dikatakan teratasi.
Efek
Psikologis Pandemi Covid-19
Pandemic covid-19 berpotensi meningkatkan
munculnya gangguan psikologis, karena adanya ketakutan akan penyakitnya dan karena
ketidakpastian bagaimana outbreak ini mempengaruhi masyarakat, baik secara
social maupun ekonomi. Reaksi stress akut, cemas, depresi, sampai kondisi
stress pasca trauma (PTSD) dapat muncul atau muncul kembali pada kondisi ini.
Gangguan Stres Pasca Trauma (Post
Traumatic Stress Disorder-PTSD) merupakan suatu gangguan yang terjadi pada
orang yang mengalami atau menjadi saksi mata dari suatu peristiwa traumatic,
seperti bencana alam, kecelakaan yang fatal, aksi terorisme, perang, perkosaan,
atau serangan kekerasan personal yang lain.
Dimasa pandemic Covid-19 ini, PTSD
merupakan issue penting dalam kesehatan jiwa karena sering tidak terdiagnosis.
Penelitian yang dilakukan di Cina pada
bulan Maret 2020 menemukan bahwa terjadi peningkatan prevalensi PTSD sebanyak
7% pada masyarakat di Cina satu bulan setelah
pandemic mulai terjadi.
Perempuan mempunyai kecenderungan menderita
gangguan PTSD dua kali lebih besar dibandingkan dengan laki-laki. Kemungkinan penyebabnya
adalah karena peran yang besar dari perempuan sebagai penanggung jawab rumah tangga,
termasuk pengasuh anak, sehingga perempuan
lebih terpengaruh secara emosional terhadap kondisi trauma.
Gejala-gejala PTSD bias muncul segera setelah
seseorang mengalami peristiwa traumatic, atau bias muncul beberapa bulan atau beberapa
tahun kemudian.
Gejala-gejala
PTSD bias berupa:
ü
Flashback
,dimana seseorang seperti mengalami kembali peristiwa traumatic yang telah dialami
sebelumnya
ü
Menghindari
situasi yang menimbulkan trauma, karena mengingatkan orang tersebut pada peristiwa
traumatiknya
ü
Munculnya
pikiran-pikiran negative, seperti perubahan dalam cara berpikir terhadap diri nyadan
orang lain
ü
Kewaspadaan
yang berlebihan, dimana orang dengan PTSD mengalami kesulitan tidur, kesulitan konsentrasi,
mudah terkejut, mudah marah atau merasa tegang.
Gejala-gejala tersebut dirasakan
menetap selama lebih dari 4 minggu.
Bagaimana Munculnya PTSD Pada Covid-19
Pandemic covid-19 bisa menimbulkan gejala-gejala
psikologis yang baru, atau memunculkan kembali gejala-gejala psikologis yang
pernah dialami seseorang sebelumnya, seperti gejala-gejala PTSD yang dulu pernah
dialami, bias muncul kembali pada masa pandemic Covid-19 ini.
Pandemic covid 19 bisa memberikan efek
yang sama seperti pada peristiwa traumatic lain, seperti kecelakaan yang fatal,
serangan terori satau serangan fisik pada seseorang. Bila kita bicara tentang peristiwa
traumatic, maka tidak hanya peristiwanya saja, akan tetapi interpretasi kita terhadap
peristiwa tersebut, dan bagaima peristiwa tersebut berdampak pada seseorang.
Walaupun seseorang tidak mengalami secara
langsung efek dari pandemic ini (misalnya tidak menjadi korban dari penyebaran infeksi),
peristiwa traumatic yang berhubungan bias menimbulkan stres, seperti mengalami seseorang
yang dekat menjadi korban, atau efek tidak langsung dari pandemic, seperti perasaan
terisolasi karena harus tinggal di rumah.
PTSD Pada Masyarakat
Bagi masyarakat secara umum, PTSD bias
muncul akibat terjadinya perubahan-perubahan dalam kehidupan. Berubahnya rutinitas
karena harus berada di rumah, kehilangan pekerjaan, ketakutan akan tertular
virus, bias menjadi pemicu. Ketakutan bahwa orang yang disayang akan tertular
,atau pemberitaan yang membuat stress bias menjadi pemicu munculnya gangguan
stress pasca trauma ini.
Prevalensi PTSD pada kelompok dengan risiko
rendah adalah 5.2% dari populasi
PTSD
pada pasien Covid-19
Pada orang yang mengalami kondisi tertular
Covid-19, dapat mengalami stress tarumatik akibat terapi medis yang dijalani,
dan dapat memperburuk kondisi fisik serta membahayakan kualitas hidupnya. Trauma
medic merupakan interaksi yang kompleks dari factor risiko yang berhubungan dengan
pengalaman pasien dan persepsinya terhadap pengalaman tersebut. Kondisi isolasi
dan kondisi medic yang dialami bias menjadi factor pemicu. Semakin lama
seseorang menjalani perawatan dan isolasi, maka semakin tinggi risiko untuk mengalami
gangguan stress pasca trauma.
Menurut penelitian, angka kejadian
PTSD pada pasien Covid yang menjalani perawatan adalah 18.4%
Menjalani perawatan akibat covid-19
merupakan pengalaman yang menakutkan bagi pasien, seperti perasaan apakah dia akan
sembuh, pengalaman dirawat di ICU dan mendapat kan bantuan pernafasan dengan
ventilator, dapat meningkatkan munculnya trauma pada pasien covid-19
PTSD
Pada Tenaga Kesehatan
Berbagai masalah bias menimbulkan
trauma pada tenaga kesehatan, khususnya yang merawat pasien Covid-19,
diantaranya : Kekhawatiran akan ketersediaan Alat pelindung diri dan apakah APD
yang digunakan tersebut dapat melindungi mereka dari penularan, kekhawatiran tertular
dan menularkan pada keluarga, kekhawatiran akan pengasuhan anak selama mereka bekerja,
dan berbagai kekhawatiran lain bias menimbulkan kondisi stress dan trauma.
Prevalensi PTSD
padatenagakesehatanadalah 4.4%
Bagaimana
Mengatasinya
Untuk orang yang sedang menjalani isolasi,
baik isolasi mandiri di rumah maupun dirawat di rumah sakit, hal yang paling
penting adalah tetap terhubung dengan orang-orang terdekatnya, bias melalui
video call atau komunikasi online yang lain.
Untuk tenaga kesehatan, tetap terhubung dengan orang-orang terdekat seperti
keluarga juga sangat penting, sehingga menimbulkan perasaan bahwa dia didukung oleh
orang-orang yang disayangi. Melakukan hal-hal yang disukai di sela-sela kesibukan
merawat pasien juga sangat penting.
Tindakan professional yang lebih serius
diperlukan bila gangguan menetap, seperti psikoterapi (cognitive behavioral therapydanexposure
therapy) danpemberianobat-obatan yang bias membantu menurunkan kecemasan dan
gejala-gejala trauma yang dihadapi. Pertolongan seorang professional
dalamkesehatan jiwa (psikiater, psikolog) sangat diperlukan dalam kondisi tersebut.
Bagaimana
Pencegahannya
Hal-hal penting yang bisa dilakukan untuk
menghadapi kondisi yang stress full dimasa pandemic ini diantaranya:
·
Selalu
mengupayakan keselamatan, seperti selalu mencucitangan, menggunakan masker,
menjaga jarak aman dengan orang lain, mengurangi keluar rumah bila tidak penting,
bias menurunkan stress dan kecemasan.
·
Tetap
terhubung dengan orang lain. Bicara pada keluarga, teman, secara teratur walaupun
tidak bertemu secara langsung bias menurunkan perasaan terisolasi. Bisa kontak melalui
telepon, whatsapp, atau cara-cara lain.
·
Menggunakan
teknik-teknik tertentu untuk tetap merasa tenang. Hal-hal yang bias di lakukan seperti
berolahraga teratur, meditasi atau yoga, mengurangi membaca berita tentang Covid.
·
Focus
pada perasaan control diri. Kontrol diri bias dilakukan misalnya dengan menerima
kondisi yang saat ini harus dialami, dan focus pada hal-hal apa yang masih bias
dilakukan, bias menurunkan stres
·
Tetap
optimis. Seseorang dapat membantu dirinya untuk tetap berpikir positif dengan tetap
memelihara harapan, sabar dan berpikir positif terhadap diri sendiri,
mensyukuri setiap keberhasilan yang dicapai (termasuk keberhasilan untuk tetap sabar
berada di rumah), dan lakukan aktifitas yang menyenangkan
·
Tetap
mengikuti berita tentang Covid-19, dan selektif dalam memilih sumber berita
(Doc.Humas
RSMH)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar